Kebebasan Bercinta

Nabi saw. mengirim satu pasukan [shahabat], lalu mereka memperoleh rampasan perang yang di antaranya terdapat seorang tawanan laki-laki.

[Sewaktu interogasi], ia berkata, “Aku bukanlah bagian dari golongan mereka [yang memusuhi Nabi]. Aku hanya jatuh cinta kepada seorang perempuan, lalu aku mengikutinya. Maka biarlah aku memandang dia [dan bertemu dengannya], kemudian lakukanlah kepadaku apa yang kalian inginkan.”

Lalu ia dipertemukan dengan seorang wanita [Hubaisy] yang tinggi berkulit coklat. Lantas [si lelaki yang jatuh cinta itu] bersyair kepadanya:

Wahai dara Hubaisy!

Terimalah daku selagi hayat dikandung badanmu!

Sudilah dikau kuikuti dan kutemui di suatu rumah mungil atau di lembah sempit antara dua gunung!

Tidak benarkah orang yang dilanda asmara berjalan-jalan di kala senja, malam buta, dan siang bolong?

Perempuan itu menjawab, “Baiklah, kutebus dirimu.”

Namun, mereka [para shahabat itu] membawa pria itu dan menebas lehernya. Lalu datanglah wanita itu, lantas ia jatuh di atasnya, dan menarik nafas sekali atau dua kali, kemudian meninggal dunia.

Setelah mereka bertemu Rasulullah saw., mereka informasikan hal itu [dengan antusias] kepada beliau, tetapi Rasulullah saw. berkata [dengan sindiran tajam]: “Tidak adakah di antara kalian orang yang penyayang?

***

Demikianlah sebuah hadits hasan dari Ibnu Abbas r.a. yang diriwayatkan oleh Thabrani (dalam Majma’ az-Zawâid 6: 209) Hadits tersebut menjadi landasan bagi Abdul Abu Syuqqah, seorang ulama Ikhwanul Muslimin, untuk “menetapkan bolehnya bercinta sebelum khitbah (peminangan)“. (Kebebasan Wanita, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 79.)

Sejumlah orang menolak penggunaan dalil ini dengan alasan bahwa, katanya, hadits itu mengenai terlarangnya “main hakim sendiri”, bukan “bolehnya bercinta sebelum khitbah”. Namun, alasan mereka ini lemah dan tidak dapat kita terima. (Lihat artikel di sini.)

Berangkat dari hadits tersebut, Abu Syuqqah mengemukakan beberapa patokan bolehnya “bercinta sebelum peminangan” (alias “pacaran”) di buku Kebebasan Wanita, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 73-80. Kami merangkum patokan-patokan beliau itu menjadi tujuh butir sebagai berikut:

1) bertujuan menikah, mengandung persiapan-persiapan untuk menempuh suka-duka kehidupan berumah-tangga; (hlm. 75)

2) cintanya mengandung segala makna cinta yang makruf, berupa kasih sayang, keharmonisan, penghargaan, dan kerinduan; (hlm. 75)

3) prosesnya melalui jalinan hubungan yang “mendalam”, yaitu yang memungkinkan tumbuh-kembangnya cinta antara kedua pihak, antara lain dengan ekspresi mesra yang makruf, sehingga menjadi perasaan yang hangat dan kegembiraan yang menyenangkan; (hlm. 75, 77)

4) prosesnya melalui pengalaman bersama yang “panjang”, yaitu yang memungkinkan kedua pihak untuk saling mengenal lahir-batin, antara lain dengan tukar-pikiran dan tukar-bantuan; (hlm. 75, 77)

5) memanfaatkan proses yang “mendalam” dan “panjang” itu untuk mematangkan kepribadian kedua pihak, supaya masing-masing mampu mengambil putusan yang sebaik-baiknya, terutama mengenai teman-hidupnya; (hlm. 77)

6) menjaga kesucian cinta dari segala yang mengotorinya, antara lain dengan menghindari persentuhan yang terlarang (yakni yang membangkitkan birahi) dan menghindari berdua-duaan (kecuali bila terawasi); (hlm. 76, 77)

7) menyegerakan pernikahan, untuk menjauhi pelanggaran larangan yang sering terjadi pada masa percintaan yang panjang. (hlm. 77-78)

Wallaahu a’lam.

5 Komentar

5 thoughts on “Kebebasan Bercinta

  1. saya dapet dari ustadz bahwa perkataan manusia dapat tertolak, sementara perkataan Rasulullah sifatnya mutlak. artinya pendapan syaikh itu boleh ditolak kan? toh itu cuma pendapat satu orang. apakah yang mengeluarkan pendapat ini banyak ulama?

  2. maar pak…alagkah lebih baiknya…coba baca FIQH wanita…dan tentang perkawinan lebih banyak lagi…
    karena dalam masa khitbah, masih ada batasan2 yang boleh dilakukan…
    dan sepertinya terlalu berlebihan jika membawa nama2 Ikhwanul Muslimin..
    karena yang ana tau dalam Ikhwanul Muslimin pun tak pernah dijelaskan bahwa diperbolehkannya untuk “Kebebasan Bercinta”

    coba baca Fiqh Prioritas dari Dr. Yusuf Qardhawi…yang lebih lengkap dan jelas..serta tidak menyimpang seperti yang bapak jelaskan diatas…

    saya harap blog ini segera bapak tutup…sebelum semua penjelasan menjadi lebih melenceng…dan membawa orang lain lebih dekat dengan syaithan nirrojim…dan lebih dekat dengan maksiat…

    karena setelah saya baca….artikel dalam blog ini jauh dari syariat Islam yang sudah Rasulullah ajarkan.!!!!!

  3. oh iya satu hal lagi…Khitbah atau peminangan itu bukan pacaran…ga bisa dikategorikan pacaran sama sekali…bahkan jauh dari sifat pacara….

    KHITBAH ADALAH PEMINANGAN…BUKAN PACARAN.!!!

    PAHAM.!!!!!!!

  4. Ping-balik: Definisi & Bentuk Nyata Pacaran Islami « Pacaran Islami

  5. @Ivan: bukankah pemilik situs ini sudah menjelaskan bahwa arti dari pacaran tersebut adalah “persiapan sebelum menikah”?

Komentar ditutup.