Pembatasan Masa Taaruf (yang Bid’ah dan yang Bukan Bid’ah)

Seorang pembaca bertanya, “Adapun pembatasan 3 bulan itu tidak pernah dimasukkan sebagai bagian ibadah, kenapa harus dikategorikan bid’ah?” Sementara itu, SPIP (seorang penentang islamisasi pacaran) menyangkal artikel saya di sini dengan menyatakan:

Yang perlu dipahami adalah bahwa Ta’aruf itu sendiri bukanlah amaliyah semacam ibadah Mahdah yang telah tetap rukun dan tata caranya, tetapi ia adalah anjuran Qurani ….

Kemudian pada update yang kami tempatkan di akhir artikel tersebut, kami terangkan:

Nah! Justru itulah yang perlu dipahami oleh para pengamal dan terutama pendakwah taaruf. Sayangnya, seperti yang saya kemukakan dalam artikel dan dalam komentar Donny Reza di sana, ada yang memperlakukannya sebagai ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya” sehingga “menyaingi” ibadah mahdoh. Mereka tidak menempatkannya sebagai anjuran Qurani, melainkan sebagai keharusan dan kewajiban ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya”.

Syukurlah SPIP telah menyadari hal itu. Mudah-mudahan kesadaran itu senantiasa diamalkan dan ditularkan kepada mereka yang amat bergairah dalam bertaaruf itu, sehingga tidak terjerumus dalam bid’ah. Aamiin.

Sementara itu, hendaknya SPIP menyadari bahwa segala ritual (walaupun bukan ibadah mahdoh) yang diperlakukan bagaikan ibadah mahdoh itu dapat tergolong bid’ah. Umpamanya, pernikahan itu bukan ibadah mahdoh. Namun jika dalam ijab-qabulnya ditetapkan aturan bahwa sepasang mempelai harus berciuman, atau aktivitas lain yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka itu tergolong bid’ah juga.

Lalu seorang pembaca berargumen:

Padahal hikmah pembatasan itu sendiri agar ada kepastian bahwa ta’aruf bukan sekedar untuk melegalkan kisah kasih cumbu rayu yang bisa mengotori hati tanpa hubungan pernikahan. Karena kalau itu berlarut-larut terlalu lama, malah akan membawa ketidakpastian.. bahasa kerennya menggantung .. hihi…

Hampir semua pelaku bid’ah memandang perbuatannya mengandung kebaikan. Namun, “hikmah” itu tidak boleh dijadikan alasan untuk melegalkan bid’ah. Kita selaku mubalig, da’i, murobbi, dsb, tidak boleh menetapkan aturan pembatasan lamanya taaruf pranikah bagi saudara-saudara kita yang menjalankannya. Sebab, penetapan aturan tersebut merupakan bid’ah. Yang dapat kita lakukan hanyalah menyeru mereka untuk segera menikah pada saat yang tepat.

Kemudian supaya hubungan di antara mereka tidak menggantung, kedua belah pihak yang bertaaruf prnikah itu hendaknya mengadakan kesepakatan sebaik-baiknya mengenai berapa lama masa taaruf mereka. Mereka boleh menyepakati waktu sebulan, tiga bulan, lima bulan, atau yang lain, menurut pertimbangan keadaan mereka.

Lain “pasangan”, bisa lain pula masa taaruf pranikahnya. Karena kesepakatan tersebut BUKAN berdasarkan penetapan aturan manusia (dari murobbi, ustadz, jamaah, ormas Islam, dsb), maka kesepakatan pembatasan seperti itu bukan bid’ah. Jelas?

Wallaahu a’lam.

13 thoughts on “Pembatasan Masa Taaruf (yang Bid’ah dan yang Bukan Bid’ah)

  1. Kalau taaruf dikatakan bid’ah…. bagaimana jadinya dunia ini…

    Padahal pacaran sudah diembel-embeli pacaran Islami….
    Dan tidak ada tuntunan pacaran dalam Islam..
    saya pikir, orang yang berakal akan bisa lebih menilai manakah yang lebih “bid’ah” .. ?

    aya-aya wae…..

    Tanggapan Admin:
    Kami yakin para pembaca blog ini, yang benar-benar membaca, mampu mempertimbangkan mana yang lebih mendekatkan kita dengan kebenaran ilahi.

    Wallahua’lam

  2. sebelumnya mohon maaf.

    Sederhananya begini pak Shodiq, taaruf ada tuntunannya, baik dalam AlQuran maupun hadits-hadits, dan diajarkan oleh ulama-ulama pewaris para Nabi.

    Adapun pacaran Islami, tidak pernah sedikitpun ulama mengajarkan hal ini, dan ini adalah sesuatu yang diada-adakan dan diakit-kaitkan terhadap Islam.
    Islam memang tidak melarang hubungan cinta lawan jenis, tetapi hubungan cinta itu hendak disalurkan pada cara dan jalur yang dibenarkan agama, menikahlah.

    Tentulah kita sudah sering mendengar perihal sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
    “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan syahwatnya”

    Menurut hemat saya, insya Allah sudah cukup jelas tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini bagi kita yang menjaga kesucian cintanya, baik kepada Allah, Rasul-NYA, dan orang yang kita cinta karena Allah swt.

    Ingin mencintai seseorang karena Allah swt ? Maka ikutilah tuntunan-NYA dan tuntunan Rasul-NYA.
    Wahai pemuda, Menikahlah..!

    Wallahua’lam

    Tanggapan M Shodiq Mustika:

    Meski berbeda pandangan, saya tetap menghargai pandangan akhi Saifullah yang disampaikan dengan santun begitu. Karenanya, saya senang menanggapinya. (Kalau di kesempatan lain saya tidak menanggapinya, itu semata-mata karena ada kesibukan lain yang lebih mendesak.)

    Mengenai istilah taaruf untuk pranikah, saya sudah menjelaskannya di sana.

    Mengenai islamisasi pacaran ini, kami tidak mengabaikan ulama. Kami justru bersandar pada sekurang-kurangnya tiga ulama terkemuka: Ibnu Hazm, Ibnu Qayyim, dan Abu Syuqqah. Hal ini sudah kami ungkapkan di halaman Panduan Pacaran.

    Mengenai pernikahan, pacaran islami pun mengarah ke pernikahan, seperti halnya dalam tradisi taaruf pranikah pada sekelompok saudara kita. Hal ini bahkan sudah berkali-kali kami ungkapkan di blog ini. (Bila tradisi pacaran muda-mudi kita selama ini banyak yang hanya untuk bersenang-senang, maka marilah kita berusaha mengarahkannya untuk persiapan menikah.)

    Wallahu a’lam.

  3. @Saifullah

    Maksudnya bukan taarufnya yg bid’ah
    Tapi SEBAGIAN keharusan di dalamnyalah yg dianggap bidah
    Kaya misalnya…ada yg mengharuskan maximal 3 bulan…
    Nah disini bukan taarufnya yg salah, tapi kewajiban ataw keharusan 3 bulannya itu yg salah…kan ada tuh beberapa kalangan yg mensyaratkan harus begitu…
    Padahal kan ini sangat tergantung dari karakter2 pelaku…misalnya, yg malu2 tapi masih pengen lebih kenal untuk bisa lebih sreg n lanjut sampe lebih dari 3 bulan…y jangan dialang2in apalagi sampe diharamin or dicut
    Mungkin begitu yang saya tangkap

    Satu lagi, hadits ataw quran g pernah menurunkan tuntunan, khusus untuk taaruf
    Yang ada mereka memberikan tuntunan bergaul antar lawan jenis…

    Jadi itulah yg harus duterapin ke segala bentuk hubungan…mo temenan, pacaran, taaruf, tanazhur, tunangan, jodohan…whaatever lah…harus sesuai dgn tuntunan itu

    Dan di mata saya, untuk mengenal lawan jenis sebelum menikah itu g harus duduk tigaan di rumah cw beserta ortu ataw MR trus ngelancarin tanya jawab sambil tes baca/apalan quran…tapi banyak cara laen…koz g semua karakter dan pemikiran org bisa sesuai dgn satu solusi aja

    Wassalam

  4. Ada jawabaan yang cukup baik dari Al Ustadz Ahmad Sarwat Lc, di eramuslim. saya kutipkan saja.

    Secara dalil nash, kami belum menemukan dalil yang sharih dan shahih tentang keharusan adanya jarak waktu tertentu antara khitbah dan akad. Apakah harus sebulan, dua bulan, tiga bulan atau berapa lama waktu.

    Kalau pun jarak waktu itu dibutuhkan, barangkali sekedar untuk memberikan beberapa persiapan yang bersifat teknis. Sebab biasanya, setiap akad nikah yang akan digelar memang membutuhkan persiapan-persiapan teknis yang mutlak.

    Sebagian orang ada yang butuh waktu untuk mengumpulkan dana, atau untuk mencari tempat yang akan disewa, atau keperluan-keperluan lain yang manusiawi.

    Sehingga menurut hemat kami, jarak waktu ini dikembalikan kepada al-‘urf (kebiasaan dan kepantasan) serta tuntutan hal-hal yang bersifat teknis semata.

    Dengan demikian, seandainya kedua belah pihak telah siap segala sesuatunya, atau mungkin juga tidak terlalu merepotkan urusan teknis, akad nikah bisa digelar saat itu juga berbarengan dengan khitbah.

    Maksudnya, sesaat setelah khitbah diterima, langsung saja digelar akad nikah. Sehingga tidak lagi memboroskan waktu, biaya, dan kebutuhan lain. Apalagi taaruf antara kedua mempelai sudah menghasilkan kesaling-cocokan. Maka buat apa lagi menunggu, begitu barangkali logikanya.

    Metode seperti ini kalau memang ingin dilakukan, tentu tidak ada larangan, lantaran memang tidak ada nash yang melarangnya.

    Secara umum, semakin cepat akad nikah dilakukan akan semakin baik. Karena niat baik itu memang biasanya harus dipercepat. Selain juga untuk memberikan kesempatan kepada kedua calon pengantin untuk dapat segera menunaikan hajat mereka.

    Sebab dalam beberapa kasus, terkadang karena terlalu lama jarak antara khitbah dengan akad nikah, terjadilah hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, seringnya terjadi khalwat, pacaran bahkan -naudzubillah- sampai ke tingkat perzinaan. Oleh sebab itu, untuk menghindarinya, maka sebaiknya jarak waktu antara khitbah dan akad tidak terlalu lama. Cukup sekedar bisa mempertimbangkan masalah teknis saja.

    semoga bisa memberikan kejelasan dalam diskusi kita ini.

    wallahua’lam

    Tanggapan Admin.
    Nah, kalau sebatas anjuran begitu, bukan pengharusan atau pewajiban, maka itu bukan bid’ah. Memang begitulah ikhtiar “maksimal” kita selaku dai, sebagaimana yang sudah kami ungkapkan dalam artikel di atas.

  5. @Pak Kaezzar

    Mengutip tulisan pak kaezzar

    Satu lagi, hadits ataw quran g pernah menurunkan tuntunan, khusus untuk taaruf
    Yang ada mereka memberikan tuntunan bergaul antar lawan jenis…

    maka saya ingin menjawab dengan hadits Nabiyullah saw:

    Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang menikahi seorang wanita, “Sudahkah kamu melihatnya?” Dia menjawab, “Belum!.” Nabi SAW bersabda, “Pergilah dan lihatlah.” (HR Muslim)

    Dari Jabir ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila seorang di antara kalian melamar wanita, bila mampu untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim menshahihkannya)

    Tanggapan Admin:
    Hadits-hadits tersebut bukan menunjukkan tuntunan taaruf, melainkan tanazhur. Lihat artikel Taaruf: Sebuah istilah yang asal keren?

  6. @Pak Admin

    saya berharap pak Admin lebih jeli lagi dalam membaca sebuah hadits agar pemahaman kita tidak menjadi keliru. mohon maaf.

    Wallahua’lam

    Tanggapan Admin:
    Kesalahan Anda yang terjadi karena ketidaktahuan Anda tentu saja kami maafkan.
    Dalam hal ini, Anda sendirilah yang kurang jeli dalam melihat hadits. Hadits-hadits tersebut bukan menunjukkan tuntunan taaruf, melainkan tanazhur. Untuk buktinya, sekali lagi kami sarankan, lihat artikel Taaruf: Sebuah istilah yang asal keren?

  7. @pak Admin,

    Saya pikir selayaknya bapak bersikap fair dalam berdiskusi.
    Adapun saya sudah menuliskan jawaban sebelumnya, tetapi ternyata tidak Bapak masukkan. Padahal pula tidak ada kalimat saya yang menyinggung atau menghina seseorang.

    semoga Bapak admin lebih bisa bersikap bijak.

    Tanggapan Admin:
    Itu karena antum mengulang-ulang mempersoalkan sesuatu yang jawabannya sudah kami jelaskan atau sudah kami tunjukkan link yang membahasnya. (Padahal, kami sudah mengingatkan antum beberapa kali, “lihat artikel ….”, dsb.) Kami khawatir pengulangan itu akan membuat diskusi ini berputar-putar belaka. Kami ingin diskusi kita lebih terarah.

  8. Pak Admin,
    saya memang mengulangi pemabahasan kedua hadits, dengan keterangan tambahan. baiknya saya tuliskan lagi, semoga dimuat.

    Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Nabi SAW bertanya kepada SESEORANG YANG MENIKAHI WANITA, “Sudahkah kamu melihatnya?” Dia menjawab, “Belum!.” Nabi SAW bersabda, “Pergilah dan lihatlah.” (HR Muslim)

    Dari Jabir ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bila SEORANG DI ANTARA KALIAN MELAMAR SEORANG WANITA, bila mampu untuk melihat apa yang membuatnya tertarik untuk menikahinya, maka kerjakanlah. (HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim menshahihkannya)

    Konteks taaruf yang kita bahas ialah untuk mengenali pasangan yang hendak dinikahi, demikian pula kedua hadits ini menjelaskannya.

    wallahua’lam

    Tanggapan Admin:

    Berapa kali lagikah kami harus mengatakan:

    …. sekali lagi kami sarankan untuk terakhir kalinya, lihat artikel Taaruf: Sebuah istilah yang asal keren?

    Sudahlah, kita istirahat dulu saja.

  9. @Saifullah

    Maaf bro,
    Kalo saya liat…hadits itu penekanannya adalah kepada bolehnya seseorang melihat sang calon yg akan dinikahi…
    Jadi secara kasarnya,
    kalo kita mo nikah, liat dulu calonnya gih…

    Koz dari asbabul wurudny kan memang ttg keragu2an seorang pemuda…mo liat tapi takut2
    Nah, Rasul malah menyuruh dia melihat agar keragu2an yg timbul di hati pemuda itu

    wassala

  10. Ping-balik: Ketika setiap orang membanggakan pemikirannya « Manajemen Amal

  11. Ping-balik: Tatacara Khitbah (peminangan) yang bukan bid’ah « Tanazhur PraNikah

  12. Ping-balik: Blog’Ge Tri Sihono » Pembatasan Taaruf (Bid’ah & No Bid’ah)

Komentar ditutup.