Awas! Taaruf praNikah = bid’ah sesat!!!

Update, 6 Juli 2008:

Saya telah mempertimbangkan pemuatan artikel ini dalam waktu yang lama. Bayangkan! Buku yang saya kupas tersebut sudah saya baca di awal terbitnya, yaitu November 2006. Sudah hampir dua tahun saya menahan diri untuk tidak mengemukakan kupasan saya itu di depan publik.

Saya sudah beberapa kali mengingatkan penerbit melalui moderator di milisnya. (Penulis buku tersebut adalah salah seorang editor di penerbit tersebut.) Pada mulanya pesan itu secara halus (tanpa menyebut istilah bid’ah). Namun pesan saya tidak ditanggapi. Mereka masih saja menerbitkan buku yang mengandung bid’ah itu, sehingga mereka menjangkau pembaca yang semakin banyak. Karenanya, kemudian terpaksalah saya sampaikan pesan tersebut secara terbuka supaya para pembaca buku seperti itu dapat kita ingatkan. Jika saya tidak mengingatkan pembaca buku tersebut, maka saya merasa berdosa.

—-Naskah semula:

Disamping bahaya zina pada budaya pacaran, kita juga perlu mewaspadai bahaya lain yang bahkan lebih mengerikan, yaitu bid’ah pada budaya ta’aruf praNikah. Mengapa lebih mengerikan? Sebab, bahaya ini cenderung kurang disadari. (Pelakunya menyangka menunaikan sunnah Rasul, padahal melakukan bid’ah yang sesat dan menyesatkan.)

Meskipun istilah taaruf itu terdapat dalam Al-Qur’an (al-Hujurat 13), bukanlah ini berarti bahwa semua bentuk taaruf itu dapat kita terima keberadaannya. Bagaimanapun, kita harus bertaaruf sesuai syariat Tuhan. Kita tidak boleh melakukan bid’ah, yakni “mengada-adakan tradisi yang tertentu dalam beragama”. (Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, tradisi yang kita adakan dalam beragama itu bukan bid’ah apabila kita tidak menetapkan aturannya, kecuali bila ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya.)

Pada budaya taaruf pranikah, ternyata ada sejumlah aktivis dakwah yang berusaha menetapkan aturannya, padahal aturan tersebut bukan berasal dari Allah atau Rasul-Nya. Untuk contoh, marilah saya tunjukkan sepuluh bentuk bid’ah yang terdapat di sebuah buku terbitan Lingkar Pena, 2006. Judulnya: Taaruf, Keren..! Pacaran, Sorry Men! (Nama penulisnya tidak saya sebut. Sebab, saya tidak bermaksud menyerang penulisnya. Yang saya kritik hanyalah tulisannya.)

1. Pembatasan Tujuan Taaruf

Katanya, “Tujuan taaruf sudah jelas, untuk menikah.” (hlm. 12 dan 31) Menurut penulis buku tersebut , kita tidak boleh taaruf bila tujuannya bukan untuk menikah. Katanya, “Sebelum kamu taaruf, kamu harus yakin apakah kamu sudah benar-benar siap untuk menikah.” Padahal, penetapan (pembatasan) tujuan taaruf itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

Nabi Muhammad saw. dan para sahabat justru terkadang berusaha mengenal (bertaaruf) dengan seorang lawan-jenis, walau tidak hendak menikah dengannya. Usaha mengenal itu tampak jelas pada pengajuan pertanyaan “siapa kau” atau “siapa dia”. Contohnya: “Nabi saw. datang menemui ‘Aisyah r.a.. Ketika itu di samping ‘Aisyah ada seorang wanita. Nabi saw. bertanya, ‘Siapa wanita itu?’ ….” (HR Bukhari dan Muslim)

2. Penetapan Durasi (Lamanya) Taaruf

Katanya, “Deadline taaruf maksimal tiga bulan.” Jadi, kalau “taarufmu lebih dari tiga bulan dan tidak ada perkembangan menuju pernikahan, berarti kamu sedang PACARAN dan bukan TAARUF.” (hlm. 16) Padahal, penetapan (pembatasan) durasi taaruf itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Untuk menuju pernikahan, Islam hanya menganjurkan pelaksanaannya sesegera mungkin, tanpa menetapkan lamanya.

3. Jaminan Kehalalan

Katanya, taaruf itu “100% halal” (hlm. 18). Padahal, kehalalannya tidak dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya. Adanya bid’ah pada konsep taaruf ini jelas membuktikan bahwa taaruf itu tidak dijamin “100% halal”. Taaruf yang halal hanyalah yang islami.

4. Pengharusan Adanya Perantara

Katanya, “Kamu tidak bisa taaruf berdua saja [tanpa perantara atau mediator].” (hlm. 21) Padahal, pengharusan adanya perantara itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

Kita justru dapat menjumpai banyak contoh bahwa Nabi saw. dan para sahabat itu berkomunikasi langsung dengan seorang lawan-jenis tanpa perantara. Contohnya: “Seorang wanita dari kalangan Anshar datang kepada Nabi saw.. Lantas Nabi saw. berduaan dengannya [di dekat orang-orang] dan berkata, ‘Sesungguhnya kalian [kaum anshar] ialah orang-orang yang paling saya cinta’.” (HR Bukhari dan Muslim)

5. Pengharusan Mengajukan Pertanyaan

Katanya, “segala hal yang ingin kamu ketahui tentang calon pasangan hidupmu … wajib kamu tanyakan”. (hlm. 21) Padahal, pengharusan mengajukan pertanyaan itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

Kita justru dapat menjumpai banyak contoh bahwa Nabi saw. dan para sahabat itu berusaha mengenal seorang lawan-jenis, termasuk dalam kaitannya dengan menikah, tanpa mengajukan pertanyaan. Contohnya: “Seorang wanita datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.’ Lalu Rasulullah saw. memandangnya dengan menaikkan dan menurunkan pandangan beliau kepadanya, kemudian beliau menundukkan kepala.” (HR Bukhari dan Muslim)

6. Penetapan Kriteria Hafal Surat an-Nisa’

Katanya, “Seorang teman saya bahkan mengatakan, untuk pasangan yang berencana menikah, setidaknya sudah menghapal dan memahami arti dari keseluruhan Al Quran surat Annisa.” (hlm. 34) Padahal, penetapan kriteria tersebut bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

7. Pelarangan bagi Calon Istri untuk Mendatangi Keluarga Calon Suami

Katanya, “proses perkenalan kepada orangtua secara langsung, hanya bisa dilakukan oleh calon suami kepada keluarga calon istri. Sebab, tidak baik jika calon istri mendatangi keluarga calon suami.” (hlm. 38) Padahal, pelarangan tersebut bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

8. Pembatasan Perkenalan Calon Istri dengan Foto Saja

Katanya, “untuk memperkenalkan calon istri kepada keluarga calon suami, calon suami cukup membawa foto keluarga besar calon istri dan menceritakan secara lengkap tentang keadaan dan kondisi keluarga calon istri …” (hlm. 38) Padahal, pembatasan dan penetapan tersebut bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

9. Pengharusan Adanya Foto dalam Biodata

Katanya, dalam biodata yang hendak diserahkan ke si dia, “Kamu [yang belum tingkat tinggi] juga harus menyertakan menyertakan foto yang jelas dan berwarna. Biasanya, kalau sudah tingkat tinggi, alias yang menikah benar-benar ingin beribadah, foto bukan lagi hal yang penting.” (hlm. 46) Padahal, aturan pengharusan adanya foto dalam biodata itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya. (Di zaman Rasul itu belum ada fotografi, bukan?)

10. Penghentian Pertemuan Bila Tidak Berlanjut ke Taaruf Berikutnya

Katanya, “Setelah pertemuan pertama ini, kamu akan semakin tahu kecenderungan hatimu. … Kalau mantap, berlanjut ke taaruf berikutnya. Kalau tidak, ya di-cut.” Padahal, penghentian pertemuan dengan ketentuan seperti itu bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya.

Wallaahu a’lam.

Solo, 4 Juli 2008

M Shodiq Mustika, penulis buku best-seller Istikharah Cinta

============

Update 16 Juli 2008:

SPIP (seorang penentang islamisasi pacaran) menyangkal artikel saya di atas dengan menyatakan:

Yang perlu dipahami adalah bahwa Ta’aruf itu sendiri bukanlah amaliyah semacam ibadah Mahdah yang telah tetap rukun dan tata caranya, tetapi ia adalah anjuran Qurani ….

Nah! Justru itulah yang perlu dipahami oleh para pengamal dan terutama pendakwah taaruf. Sayangnya, seperti yang saya kemukakan dalam artikel dan dalam komentar Donny Reza di atas, ada yang memperlakukannya sebagai ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya” sehingga “menyaingi” ibadah mahdoh. Mereka tidak menempatkannya sebagai anjuran Qurani, melainkan sebagai keharusan dan kewajiban ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya”.

Syukurlah SPIP telah menyadari hal itu. Mudah-mudahan kesadaran itu senantiasa diamalkan dan ditularkan kepada mereka yang amat bergairah dalam bertaaruf itu, sehingga tidak terjerumus dalam bid’ah. Aamiin.

Sementara itu, hendaknya SPIP menyadari bahwa segala ritual (walaupun bukan ibadah mahdoh) yang diperlakukan bagaikan ibadah mahdoh itu dapat tergolong bid’ah. Umpamanya, pernikahan itu bukan ibadah mahdoh. Namun jika dalam ijab-qabulnya ditetapkan aturan bahwa sepasang mempelai harus berciuman, atau aktivitas lain yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka itu tergolong bid’ah juga. Wallaahu a’lam.

42 thoughts on “Awas! Taaruf praNikah = bid’ah sesat!!!

  1. Ping-balik: Awas! Ada bid’ah di buku terbitan Lingkar Pena « Salafi Liberal

  2. semua bisa di nilai tergantung kemaslahatannya….
    demi kelangengan kehidupan rumah tangga maka taaruf jadi wajib….
    so lain ladang lain belalang….
    semua tergantung orangnya….
    tidak semua hal yang bahru dapat di golongfan sebagai bid`ah…
    pahami dulu apa bid`ah itu??

    Tanggapan Admin:

    Dalam artikel di atas tidak dikatakan bahwa taaruf itu bid’ah. Yang bid’ah adalah sebagian dari budaya taaruf pranikah.

    Memang tidak semua hal yang baru itu bid’ah. Di artikel di atas sudah disebutkan pengertian bid’ah. Silakan baca kembali:

    Kita tidak boleh melakukan bid’ah, yakni “mengada-adakan tradisi yang tertentu dalam beragama“. (Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, tradisi yang kita adakan dalam beragama itu bukan bid’ah apabila kita tidak menetapkan aturannya, kecuali bila ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya.)

  3. ah anda saja yang terlalu mencari-cari kesalahan

    coba liat deh, semua bagian yang di kutip dari buku itu juga sebenarnya gak salah, dan juga gak ada pewajiban so bukan bid’ah.

    Masalah bahasa aja, anda seorang penulis seharusnya mengerti, terutama jika ditujukan ke kalangan muda, kata-kata “wajib” belum berarti wajib, dan semua orang udah paham itu cuma penganjuran aja (kecuali yang picik, dan emang ingin cari kesalahan, he3x)

    Tanggapan M Shodiq Mustika:

    Bersangka baik sih baik-baik saja. Tapi kalau tanpa bukti sama sekali, itu sama saja dengan membiarkan orang mempermainkan agama.

    Memang bahasa perempuan pada umumnya tidak eksak. Namun hampir setiap hari saya bergaul dengan aktivis dakwah yang “bersemangat tinggi” seperti sang penulis tersebut. Dari diskusi dengan mereka, saya dapati bahwa mereka justru memperlakukan yang “wajib” itu sebagai “sangat wajib”, bukan sekadar anjuran. Karenanya, saya menganggapnya bukan sekadar persoalan bahasa.

  4. apa itu bid’ah?
    apa itu pacaran?
    apa definisi mereka itu?

    Tanggapan Admin:

    Di atas sudah saya ungkapkan, bid’ah itu mengada-adakan tradisi dalam beragama dengan menetapkan aturan atau pembatasan yang bukan berasal dari Allah atau Rasul-Nya. (Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, tradisi yang kita adakan dalam beragama itu bukan bid’ah apabila kita tidak menetapkan aturannya, kecuali bila ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya.)

    Untuk definisi pacaran, lihat https://pacaranislami.wordpress.com/taut-favorit/

  5. Pak Shodiq,
    Saya bukan ahli agama, jadi no comment saja terhadap analisis anda.
    Cuma saya heran: Kalau niat anda memang baik, kenapa ulasan ini dimuat di blog yang bisa dibaca oleh publik? Kenapa tidak dikirim saja secara personal ke Lingkar Pena, atau penulisnya? Cara ini saya kira jauh lebih bijak.

    Jika anda menempuh cara seperti ini, dan tulisan ini dibaca oleh musuh islam, maka mereka akan bersorak gembira.

    Maaf bila tidak berkenan.

    Rey

    Tanggapan M Shodiq Mustika:

    Rey yang baik, saya telah mempertimbangkan tindakan tersebut dalam waktu yang lama. Bayangkan! Buku tersebut sudah saya baca di awal terbitnya, yaitu November 2006. Sudah hampir dua tahun saya menahan diri untuk tidak mengemukakannya di depan publik.

    Saya sudah beberapa kali mengingatkan Lingkar Pena melalui moderator di milis FLP. (Penulis buku tersebut adalah salah seorang editor di Lingkar Pena.) Pada mulanya pesan itu secara halus (tanpa menyebut istilah bid’ah). Namun pesan saya tidak ditanggapi. Mereka masih saja menerbitkan buku yang mengandung bid’ah itu, sehingga mereka menjangkau pembaca yang semakin banyak. Karenanya, kemudian terpaksalah saya sampaikan pesan tersebut secara terbuka supaya para pembaca buku seperti itu dapat kita ingatkan. Jika saya tidak mengingatkan pembaca buku tersebut, maka saya merasa berdosa.

    Kami tidak mengerti apa untungnya penyampaian pesan secara publik ini bagi musuh Islam. Dalam pandangan kami, mereka justru akan semakin sadar bahwa di kalangan umat Islam selalu ada orang yang berusaha meluruskan penyimpangan umat Islam, sehingga mereka akan gentar bila hendak merusak Islam dari dalam.

    Demikianlah pertimbangan kami. Terima kasih atas kritikannya.

  6. Wah, saya malah sering menemukan yang lebih ‘aneh’ lagi pak … ada Murrobi yang merasa lebih ‘berhak’ daripada orang tua dan bisa menggagalkan pernikahan… 😦

    Tanggapan M Shodiq Mustika:
    Ya, itu pun tergolong bid’ah. Terima kasih atas tambahan keterangan dari Dik Donny. (Yang saya ungkapkan dalam postingan di atas itu hanyalah yang saya temukan di satu buku. Mungkin saja ada bentuk bid’ah lainnya dalam budaya taaruf pranikah.)

  7. Maaf, bukannya menjelek2an, just sharing

    Pernah jg di forum ad yg curhat kalo sang MR mengcut prosesi taaruf krn bacaan si pelamar krg lancar
    Dalihnya, kalo bacaannya aj g lancar, gmn bisa mo mimpin RT

    Komen:
    Apa hubungannya bacaan lancar ma kepimpinan RT…
    Bacaan lancar n bagus memang nilai plus
    Tapi kualitas seeorang akn terlalu dini kalo cuma diliat dari lancar bacaan n banyakny apalan
    Sayangnya 2 item tersebut srg dijadikan patokan awal dlm judgement taaruf

    “Pilihlah yang paling baik agamanya”

    Agama dsitu bwt saya jauh lbh dalam ketimbang bacaan n apalan…walopun bacaan n apalan memang bs jadi slh satu tolak ukur…namun sifatnya g absolut…

    Just sharing…mari kita ambil hikmahnya

    Wassalam

  8. Menurut saya mah, apa pun yang dilakukan yang penting wala taqrobuzzina. Mau taarruf kek, kalau ujung dan niatnya jelek, tetap ndak boleh.
    Pacaran, kalau tidak taqrobuzzina, ya OK aja.
    Semuanya tergantung dari bagaimana dan dari sudut mana kita melihatnya. ya Toh?????

    Tanggapan Admin:
    Ya, Kang Uyun. Kami sependapat.

  9. Liat aja manfaat dan mudharatnya, ketika ta’aruf dilakukan apakah masih banyak manfaat atau mudharat. kalau banyak manfaatnya ya gapapa tapi kalau banyak mudharatnya baru ditindak (dibilang bid’ah).

    Tapi saya lihat judul postingan anda terlalu bombastis. Ditambah lagi dalam postingan ini anda tidak mengajukan solusi jika memang ta’aruf dianggap masalah. Jadi terkesan anda hanya memaparkan masalah tanpa solusi. Kalau seperti ini, jangan-jangan ini termasuk ghibah?

    Wallahu’alam.

    Tanggapan Admin:

    Pak Arnow salah paham. Dalam salah satu komentar kami di atas (yang ditujukan kepada zaq), sudah kami ungkapkan:

    Dalam artikel di atas tidak dikatakan bahwa taaruf itu bid’ah. Yang bid’ah adalah sebagian dari budaya taaruf pranikah.

    Sungguhpun demikian, alternatif terhadap taaruf pranikah pun sudah kami sampaikan dalam artikel terdahulu yang link-nya pada artikel di atas terdapat dalam kata-kata “Pelakunya menyangka menunaikan sunnah Rasul ….”

    Kalau solusi yang kami ungkap di artikel terdahulu itu masih belum jelas, silakan baca halaman Wajib Baca.

    Mengenai persoalan “ghibah”, sudah pula kami ungkapkan di atas, yaitu:

    Saya sudah beberapa kali mengingatkan penerbit melalui moderator di milisnya. … Namun pesan saya tidak ditanggapi. … Karenanya, kemudian terpaksalah saya sampaikan pesan tersebut secara terbuka supaya para pembaca buku seperti itu dapat kita ingatkan. Jika saya tidak mengingatkan pembaca buku tersebut, maka saya merasa berdosa.

    Oh ya, kami tidak tahu dari mana Anda menggunakan batasan “manfaat/mudharat” untuk pengertian bid’ah. Kami menggunakan pengertian bid’ah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah di atas. Ini sudah pula kami sampaikan kembali dalam komentar kami di atas (yang ditujukan kepada zaq), yaitu:

    Kita tidak boleh melakukan bid’ah, yakni “mengada-adakan tradisi yang tertentu dalam beragama“. (Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, tradisi yang kita adakan dalam beragama itu bukan bid’ah apabila kita tidak menetapkan aturannya, kecuali bila ditetapkan oleh Allah atau Rasul-Nya.)

    NB: Mohon perhatikan kata-kata yang dicetak tebal.

    wallahu a’lam

  10. kalau niatnya baik, untuk meluruskan sesuatu menjadi lebih mendekati kebenaran, kenapa enggak? supaya pembaca bisa menilai dari beberapa sudut pandang, tidak hanya satu. Tuntunan Islam hanyalah Allah dan sunnah Rasul, tapi jutaan umat muslim juga punya interpretasi masing-masing. Wallahu a’lam.

    Tanggapan Admin:
    Ya, kami setuju sepenuhnya. Terima kasih atas tambahan penjelasannya.

  11. SPIP (seorang penentang islamisasi pacaran) menyangkal artikel saya di atas dengan menyatakan:

    Yang perlu dipahami adalah bahwa Ta’aruf itu sendiri bukanlah amaliyah semacam ibadah Mahdah yang telah tetap rukun dan tata caranya, tetapi ia adalah anjuran Qurani ….

    Nah! Justru itulah yang perlu dipahami oleh para pengamal dan terutama pendakwah taaruf. Sayangnya, seperti yang saya kemukakan dalam artikel dan dalam komentar Donny Reza di atas, ada yang memperlakukannya sebagai ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya” sehingga “menyaingi” ibadah mahdoh. Mereka tidak menempatkannya sebagai anjuran Qurani, melainkan sebagai keharusan dan kewajiban ritual “yang telah tetap rukun dan tata caranya”.

    Syukurlah SPIP telah menyadari hal itu. Mudah-mudahan kesadaran itu senantiasa diamalkan dan ditularkan kepada mereka yang amat bergairah dalam bertaaruf itu, sehingga tidak terjerumus dalam bid’ah. Aamiin.

    Sementara itu, hendaknya SPIP menyadari bahwa segala ritual (walaupun bukan ibadah mahdoh) yang diperlakukan bagaikan ibadah mahdoh itu dapat tergolong bid’ah. Umpamanya, pernikahan itu bukan ibadah mahdoh. Namun jika dalam ijab-qabulnya ditetapkan aturan bahwa sepasang mempelai harus berciuman, atau aktivitas lain yang tidak dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka itu tergolong bid’ah juga. Wallaahu a’lam.

  12. Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh

    saya ingin menjawab ulasan yang ke-1 dulu.

    Ta’aruf yang dimaksud tentulah ta’aruf 2 lawan jenis yang ingin menjalin hubungan kasih-sayang.
    Dan dalam Islam, untuk menghalalkan hubungan itu tentulah dengan jalan menikah.
    Maka dalam hal ini, jelaslah ta’aruf (dalam konteks yang saya sebutkan sebelumnya) tujuannya adalah semata untuk menikah, bukan bermain mata dan sekedar ingin melampiaskan gelora muda-mudi.

    wallahua’lam

  13. Ping-balik: Pembatasan Masa Taaruf (yang Bid’ah dan yang Bukan Bid’ah) « Pacaran Sehat

  14. Adapun alasan-alasan pembid’ahan lainnya, sungguh sangatlah dangkal dan rapuh serta tidak dilandasi untuk mencari kebenaran kecuali hanya pembenaran.
    Pembahasan pun tidak disertai argumentasi yang kuat dan qath’i baik bersumber dari AlQuran dan As-Sunnah, maupun pendapat ulama-ulama terkemuka.

    Insya Allah nanti akan saya paparkan bantahannya dalam hal ini. Insya Allah

    Wallahua’lam

    Tanggapan Admin:
    Silakan. Sebaiknya Anda memang lebih dahulu memaparkan argumentasi Anda daripada main tuduh tanpa bukti sama sekali.

  15. Parah … parah … mbok ya .. kalo mau ngajak liberal .. liat-liat to …

    Buat Doni Reza … apa bener begitu … saya n temen-temen saya berhak menentukan sendiri tuh? .. guru ngaji mah cuma ngasih pertimbangan .. buka keputusan .. proses ta’aruf itu bukan cara baru (bid’ah) … tapi udah menjadi buaya para kiayi di pesantren …

    urusan foto .. itu mah dalam rangka meminimalisir fitnah aja … kan nabi nyuruh ngeliat .. pas lagi ta’aruf kan orangnya ketemu … di temani oleh orang kepercayaannya supaya tidak khalwat …

    sekali lagi .. parah .. parah …

    (tulisan saya kalo dihapus … silahkan, tapi itu membuktikan Anda chicken!!)

    Tanggapan Admin:

    1) Baguslah Anda bersangka baik terhadap diri sendiri dan terhadap orang-orang yang dekat dengan Anda. Namun mengapa Anda bersangka-buruk kepada saudara-saudara kita lainnya (yang tidak sepaham dengan Anda) tanpa bukti sama sekali? Lihat http://muslimmoderat.wordpress.com/2008/05/28/ciri-ciri-islam-ekstrim-2-buruk-sangka-dan-menuduh/

    2) Memang, yang bid’ah itu hanya sebagian dari tradisi taaruf pranikah. Kalau berhak menentukan sendiri, bukan atas dasar aturan buatan manusia, maka yang begitu itu bukan tergolong bid’ah. Kami sudah menjelaskannya berulang-kali. Yang terbaru malah berbentuk artikel. (Lihat Pembatasan Masa Taaruf.)

  16. @aya-aya wae…
    apa perlu saya ‘hadirkan’ saksinya langsung? saya tidak mengatakan semua murrobi … tapi ADA!! Ada belum tentu semua, tapi semua sudah pasti ada. Anda saja yang melakukan generalisir.

    Budaya pesantren? berarti belum tentu Sunnah nabi kan?!

    Anda menyebut orang lain chicken, tapi anda menyembunyikan identitas? jadi, siapa yang chicken sih sebetulnya?

  17. @pak Donny Reza

    [1] Kalau ada murobbi seperti itu, berarti Tarbiyahnya tidak baik dan dia kurang memahami bahwa yang menjalani pernikahan itu ada[lah] matarobbinya…
    [2] Taaruf itu ada tuntunannya dalam Islam.

    Tanggapan Admin:
    1) Syukurlah akh saifullah dengan rendah-hati mengakui bahwa mungkin saja ada murobbi yang tarbiyahnya kurang baik (sehingga perlu kita dakwahi).
    2) Memang benar, taaruf itu sendiri pada dasarnya ada tuntunannya dalam Islam. Tapi dalam penerapannya, ada sejumlah penyimpangan seperti yang sudah disebutkan di atas.

    wallahua’lam

  18. Pak Admin,

    banyak hadits-hadits di atas yang sebenarnya tidak mempunyai korelasi dengan taaruf, tetapi seakan-akan dihubung-hubungkan dengan masalah taaruf.
    Misalnya hadits tentang kisah Nabi dan Aisyah serta seorang wanita yang bersamanya. Hadits ini tidak menyatakan sama sekali bahwa Nabi saw mencintai wanita yang di samping Aisyah, sedangkan konteks taaruf yang kita bicarakan adalah masalah hubungan saling mencintai yang dalam Islam diberikan penghalalannya dengan pernikahan.

    Masih ada beberapa hal lagi yang sebenarnya tidak relevan dengan bahasan taaruf yang dibid’ahkan. Insya Allah nanti akan kita bahas lagi, karena kalau terlalu panjang takutnya susah untuk dibaca. Kita menulis agar mudah dibaca dan dipahami, bukan… peace .. 🙂

    wallahua’lam

    Tanggapan Admin:
    Memang, hadits mengenai taaruf dengan wanita di dekat Aisyah itu memang bukan dalam rangka pernikahan. Justru itulah, hadits tersebut jelas-jelas menunjukkan bahwa taaruf dengan lawan-jenis itu seharusnya tidak dibatasi untuk pranikah saja! Jadi, penetapan aturan pembatasan tujuan taaruf itu merupakan bid’ah.

  19. @Saifullah,
    Jazakallah atas tanggapannya 🙂 Saya tidak mungkin ‘menembak’ semua Murrobi karena saya pun mengenal orang-oranya yang -insya allah- lebih memahami situasi mutarrobinya. Tapi tentunya kita perlu merasa khawatir jika mereka yang tidak paham lantas menjadi murrobi, bukan begitu? 🙂

    Dan saya juga -insya allah- memahami bahwa ta’aruf adalah tuntunan Islam. Hanya barangkali saya sepakat juga bahwa kata ta’aruf yang maknanya lebih luas menjadi sempit jika ditujukan untuk pranikah saja. Wallahu’alam.

  20. Assalamu alaikum akh Sodiq

    hati-hati memaknai kata liberal. kata liberal gak semata-mata kebebasan atau toleransi. karena liberalisme itu sebuah paham atau gerakan yang membuat gereja-gereja sepi. saya mengerti yang dimaksud akh Sodiq adalah kebebasan dalam bermuamalah, kecuali kalo emang ada larangannya. untuk yang dimaksud tersebut saya jelas setuju.

    akh Sodiq, kebetulan akhwat yang nulis buku itu teman saya. Kelemahan terbesar pada buku itu memang ditulis berdasarkan pengalaman dan perasaan penulisnya, bukan berdasarkan pada dalil-dalil yang sahih. padahal kita beragama dengan wahya kan?

    ghiroh dakwah terkadang gak dibarengi sama semangat mencali ilmu yang haq. akibatnya kita mendakwahkan yang bukan datang dari Rasul padahal jelas semua ibadah yang ga ada contoh dari Rasul tertolak.

    hanya saya ingin klarifikasi kalau Forum Lingkar Pena (FLP) dengan Lingkar Pena Publishing House (LPPH) adalah institusi yang berbeda.

    jadi klarifikasi antum jelas tak akan tertanggapi, karena milist itu bukan milik LPPH, tapi milik FLP. mungkin antum bisa mengirim email langsung ke penerbitnya atau ke penulisnya. alamat emailnya, biasanya ada di biodata penulisnya dalam buku itu.

    salam
    dp

  21. @ Denny Prabowo

    1) Ya, yang saya maksud itu adalah kebebasan dalam bermuamalah.

    2) Wah, kebetulan sekali sang penulisnya ialah teman antum. Sampaikan salam ukhuwah saya kepadanya, ya!

    3) Ooo.. gitu. Syukran atas penjelasannya.

  22. Ping-balik: 10 Perbedaan Ta’aruf dan Pacaran Islami « Pacaran Sehat

  23. wah tidak meyakinkan nih, dengan ungkapan “KATANYA” aku ragu akan kebenaran kritikan ini, klu memang di buku itu di tulis ya bilang aja “DISANA DI TULIS SEBAGAI BERIKUT”.

  24. Pacaran Islami ?? = 100% bit’ah dan tidak pernah di ajarkan rosulullah.
    klu mau pacaran ya pacaran aja, jangan bawa2 islam dunk..
    jangan menutup-nutupi yang haram dengan memberikan embel2 islami pak.
    tp lumayan bagus jg argument-nya,mencoba memberikan solusi pada yg pacaran2 ya pak..
    hingga suatu hari terjadi dialog :
    hai kalian berdua pacaran ya ??, lho kita kan pacaran islami, boleh dunk kan islami gt lho…
    nauzubillah begitu mudahnya orang ya..

  25. @ Chaos_Agent

    1) Yang dimaksud dengan “Katanya” pada artikel di atas adalah “kata si penulis buku tersebut”. Rujukan nomor halaman sudah dicantumkan secara lengkap. Harap baca dengan lebih cermat supaya tidak salah paham!

    2) Apakah melakukan aktivitas muamalah yang islami tidak boleh? Tentu boleh. Ajaran Islam itu lengkap. Untuk pacaran pun ada aturannya. Silakan simak halaman Wajib Baca.

  26. Ping-balik: 10 Perbedaan Ta’aruf dan Pacaran Islam « Linaerma’s Weblog

  27. anda belajar dimana??

    anda tau bid’ah itu apa??
    anda tau yg dimaksud bid’ah itu dimana tmpatnya?
    anda tau konsep bid’ah??
    berarti kita naek motor juga bid’ah…nabi kan ga pernah ngajarin naek motor…
    berarti makan pake sendok juga bidah..
    berarti anda mengetik di komputer juga bid’ah…

    sebelum anda mengkritik sebuah tulisan anda harus mengkritik diri anda dulu…
    anda sudah merasa benar???

    kalo begitu jangan sekali2 anda kenalan dengan lawan jenis…
    yang dimaksud taaruf itu perkenalan….
    apakah hidup di dunia kompleks seperti ini anda juga mau memungkiri untuk kenalan dengan lwan jenis??
    kalo taaruf itu bid’ah…jgn sekali2 anda kenalan dengan satupun lawan jenis untuk anda nikahi…
    jgn nikah,KLO ANDA MEMANG MENGANGGAP BAHWA MENGENALI LAWAN JENIS ITU ADALAH BID’AH…

  28. @ xxx
    Kami tidak mengerti mengapa Anda mengemukakan segala pertanyaan dan penilaian begitu. Apakah Anda hanya membaca judul artikel ini tanpa menyimak isinya dengan secermat-cermatnya?

  29. Ping-balik: Belum ingin nikah, perlukah taaruf? « Tanazhur PraNikah

  30. konteks taaruf yang diperdebatkan sepertinya berbeda…
    Taaruf nabi SAW itu manusiawi…. taaruf kepada shabat-sahabatnya. Itu namanya taaruf bersifat ukhuwah… (jangan-jangan istilah saya juga dibilang bidah) 😀
    Dan seperti itulah hadits yang Pak shadiq sampaikan:
    Contohnya: “Nabi saw. datang menemui ‘Aisyah r.a.. Ketika itu di samping ‘Aisyah ada seorang wanita. Nabi saw. bertanya, ‘Siapa wanita itu?’ ….” (HR Bukhari dan Muslim)
    Kita mengenal (taaruf=ukhuwah) lawan jenis bukan merupakan dosa atau bid’ah kok.

    Yang dibahas oleh penulis bku dari FLp itu, lebih ke taaruf pranikah….
    saya bingung Pak shodiq mencampurkan keduanya… Atau bapak sendiri bingung karena masalah bahasa?

    Taaruf pranikah merupakan sesuatu yang suci….
    Tidak terlalu lama jangka waktunya. agak bisa menjaga hati…
    Penulis FLP di atas memang banyak memberi tips dalam segi psikologi, kemanusiaan (bukan dari segi agama), misalnya:

    Katanya, “untuk memperkenalkan calon istri kepada keluarga calon suami, calon suami cukup membawa foto keluarga besar calon istri dan menceritakan secara lengkap tentang keadaan dan kondisi keluarga calon istri …” (hlm. 38)

    Saya memang tidaka terlalu sependapat, ini tergantung keadaan keluarga yang hendak menikah. Karena bisa jadi pilihan si suami tidak pasa dengan pilihan si ibu…
    Pasti mas shodiq tau ini bukan dari segi agama, hanya sisi kemanusiaan dan budaya kita saja.

    Dan memang harus pake perantara untuk menghindari khalwat. Siapa perantaranya? orang tua kita bisa (sebaiknya orang tua), murabbi bisa, kakak kita bisa… pokokny siapa saja bisa. Tapi sebaiknya orang itu sudah berkeluarga… Karena nanti bisa terjadi fitnah. kayaknya bisa dinalar sendiri apa fitnahnya 😀
    Inilah bedanya taaruf pra nikah dengan taaruf ukuwah…
    Keduanya saling mengenal visi hidup masing-masing (menurut saya ini yang terpenting karena akan membantu kelanggengan pernikahan)

    wassalam

    • @ milham
      Semua yang Anda persoalkan ini sudah pernah saya bahas. Kalau Anda belum memahaminya, mungkin itu disebabkan oleh kekurangmampuan saya dalam memberikan penjelasan. Maaf.

  31. Asslm.

    Sdr. M Shodiq yang dirahmati Allah swt.

    Tanggapan ada mengenai apa itu taaruf telah saya baca, memang benar adanya kalau kebanyakan dari teman – teman adalah aktif di beberapa pengajian liqo’ yang kebanyakan mereka memahami arti dari taaruf itu adalah salah satu proses yang dilakukan sebelum terjadinya khitbah yang kemudian adanya walimatul ursy.

    sebenarnya apa yang dikatakan oleh anda memang benar terhadap pengertian taaruf, karena ada juga teman saya yang merupakan jebolan dari salah satu pesantren mengatakan ‘Taaruf itu sekarang di salah artikan menjadi konteks pengertian yang sempit sekali tidak seharusnya ‘mereka’ mengklaim arti kata tersebut menjadi seperti itu, taaruf bisa diartikan sebagai ajang pertemuan apa saja dimana saja, misalnya saja pada salah satu kegiatan di pesantrenan yang kerap melakukan malam taaruf setiap tahun sekali atau beberapa waktu sekali, mungkin ‘mereka’ mengatakan malam untuk orang yang hendak dan akan menikah yang melakukan pertemuan yang insentif dan dibatasi oleh waktu, tidak! bukan itu maksudnya malam tersebut adalah malam pertemuan antara para santri dan santriwati dengan para Ustasdz-ustadz dan Kyai dan biasanya diiringi dengan acara seperti nasyid, drama dan sebagainya.

    Saya juga suka mendapati sebagian teman liqo saya hanya sedikit memahami masalah fiqh padahal fiqh itu penting, mungkin memang karena saya memang mempelajarai beberapa ilmu fiqh yang berorientasi terhadap pemahaman ilmu fiqh dari mazhab Syafi’i yang banyak menelurkan beberapa kitab fiqh dan mereka tidak berorientasi ke mazhab manapun alias anti mazhab.

    takutnya, mereka yang tidak memahami ilmu agama hanya jatuhnya taqlid semata apa yang dikatakan murrobi atau murrobiah di-iyakan tanpa melakukan study kasus , tidak mengetahui ushulnya, nah mengenai pemahaman arti kata bid’ah memang tidak sama antara fuqoha (ahli fiqh) dan ahi hadits mengartikan arti kata bid’ah tersebut.

    afwan jidan, saya hanya ingin meramaikan diskusi yang menarik ini terimakasih

    jzklh khoiron katsiron
    Wass…..

  32. @ Oqie Murwanto
    wa’alaykumussalaam
    Terima kasih atas pengertianmu.
    Terima kasih pula atas tambahan penjelasanmu. Informasimu sangat berharga.
    Salam ukhuwah.

  33. Ping-balik: Pilih Sungguh-Sunguh Islami ataukah Kelihatan Islami? « M Shodiq Mustika

  34. hmmmmmmm….blog ini warna merah mambu, eh….merah jambu…tapi kok isinya wong padu……tapi aku cocok deh, soale wong barat (kristen) menjadikan merah jambu sebagai lambang pacaran zina, disini merah jambu mewakili semangat padu. menyelisihi kebiasaan orang kafir kan ada ganjarannya. ya to…?

    tapi lepas dari per’padu’an ini, aku sudah nyoba dan berhasil (paling gak menurutku sendiri) tentang konsep nikah tanpa pacaran dan ta’aruf.

    http://yakinku.wordpress.com/2008/04/29/menikah-tanpa-pacaran-mungkinkah/

    padu atau ra padu, tenane wae wong-wong itu mesti nanya ke hati nuraninya dewe-dewe……disuatu sudut hati sana ada tersimpan kebenaran dan kejujuran.

    nb: padu dalam komen ini dimaknai dalam bahasa Jawa Tengah citarasa Solo Mangkubumen Wetan….

    • @ habib
      Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain….” (QS Al-Hujurât [49]: 12)

  35. BARU LIAT BLOG KAYAK GINI …… ??????? ANEH ?????? BIKIN MIGRANKU KAMBUH AJA

  36. Ping-balik: Belum ingin nikah, perlukah taaruf? « Gaul Islami

Komentar ditutup.