Bercinta Ala Quraish Shihab

Haruskah menyembunyikan rasa cinta (kecuali kepada kekasih)? Tidak bolehkah mengekspresikan cinta? Mengapa? Bagaimanakah ekspresi cinta yang islami? Berikut uraian dari M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 87, 91-94:

Boleh jadi, ada orang yang malu bila bercinta sehingga menyembunyikan cintanya kecuali kepada kekasih. Ini bukanlah pada tempatnya, tidak juga dianjurkan agama. Silakan bercinta dan luapkanlah cinta kepada kekasih selama tidak melanggar agama dan norma budaya.

….

Cinta [pada] masa lalu adalah emosi yang meluap-luap, tetapi penuh kesucian dan kehormatan. Karena itu, betapapun hangatnya cinta, kehormatan selalu saja mengarahkan cinta ke arah yang wajar karena kehormatan lebih kuat daripada cinta. Ini pulalah yang menjadikan para pencinta saling menjaga kehormatannya dan mengindahkan nilai-nilai budaya yang berlaku. Ketika itulah dikenal cinta demi cinta dan pengorbanan demi cinta. Perempuan dengan cinta seperti ini, tidak dipandang hanya dari sisi kecantikan lahiriahnya, tetapi lebih-lebih kepada kecantikan jiwanya. Ini pulalah yang menjadikan cinta pada masa lalu bertahan sangat lama –kalau enggan berkata langgeng– dan cinta seperti itulah yang dikehendaki agama, yakni memandang lawan jenis sebagai manusia dwi-dimensi –ruh dan jasad– yang menyandang keindahan ruhani dan jasmani.

Para pakar mengingatkan perbedaan antara cinta dan syahwat. Cinta adalah kecenderungan hati yang mendalam terhadap sifat-sifat lahir dan batin kekasih, sedangkan syahwat hanyalah dorongan nafsu kepada sifa-sifat lahiriah kekasih, yakni kepada jasa saja. Karena itu, mestinya tidak ada cinta dari pandangan pertama karena pandangan pertama belum dapat mengantar kepada pengetahuan apalagi kekaguman kepada sifat-sifat batiniah kekasih. Pandangan pertama, jika dinamai cinta, penamaan cinta itu hanyalah karena dia dapat menghasilkan cinta jika si pemandang menjadikannya tangga yang dia lalui guna menggapai cinta.

Cinta menuntut kesetiaan. Kesetiaan itu menuntut pencinta menepati janji-janjinya, memelihara kekasihnya serta nama baiknya, baik di hadapan maupun di belakangnya, menjauhkan segala yang buruk dan yang mengeruhkan jiwanya, membantunya memperbaiki penampilan dan aktivitasnya, menutupi kekurangannya, serta memaafkan kesalahannya. Yang dicintai pun harus demikian, jika ia telah menyambut cinta yang ditawarkan. Namun, jika ia menolak, moral menuntutnya untuk tidak berpura-pura mencintai si pencinta, apalagi mempermalukannya dengan membeberkan kepada siapa saja kekaguman si pencinta itu.

Cinta adalah pohon yang tumbuh subur di dalam hati. Akarnya adalah kerendahan hati kepada kekasih, batangnya adalah pengenalan kepadanya, dahannya adalah rasa takut kepada Tuhan dan kepada makhluk –jangan sampai ada yang menodainya– dedaunannya adalah rasa malu –malu mempermalukan dan dipermalukan– buahnya adalah kesatuan hati yang melahirkan kerja sama, sedangkan air yang menyiraminya adalah mengingat dan menyebut-nyebut namanya. Demikian yang ditulis sementara orang.

Cinta mengundang dan mendorong pencinta untuk melakukan aneka aktivitas terpuji, seperti keberanian, kedermawanan, pengorbanan, dan sebagainya. Cinta melahirkan gerak positif. Dengan demikian, ia adalah kehidupan dan kebahagiaan. Karena itu, sungguh tepat ungkapan yang menyatakan: “Jika Anda tidak mencinta dan tidak mengetahui apa cinta, maka jadilah batu karang yang kukuh kering kerontang.

Inilah yang mengundang para pemikir dan ulama membicarakan cinta dan membahasnya, bahkan itulah yang menjadikan mereka bercinta. Karena itu pula Anda tidak perlu heran menemukan ulama yang dituduh kaku atau sangat ketat dalam pandangan agama, justru berbicara dengan sangat indah tentang cinta, bahkan larut dalam cinta karena cinta seperti itulah yang dikehendaki agama dan moral.

6 thoughts on “Bercinta Ala Quraish Shihab

  1. Ping-balik: Pacaran Islami ala Quraish Shihab « Fiqih Asmara

  2. cinta adalah ekspresi dari rasa kagum dan rasa butuh, kagum akan kesungguhan, kagum akan keindahan butuh akan perlindungan butuh akn kasih sayang

  3. kalau rasa kagum dan butuh hanya digantungkan kepada Allah, maka tidak ada tempat untuk cinta kepada selain-Nya, kalau pun ada ia hanyalah penghuni ruang sempit disudut-sudut hati yang menjadi penghias diruang relung hati, tapi kalau rasa kagum dan butuhnya hanya dapat ia dapatkan dari seseorang yang ia gantungkan harapan, maka pada saat itulah menimbulkan perasaan yang mendalam terhadap seseorang yang ia gnatungkan harapan

  4. Ping-balik: Pacaran Islami ala Quraish Shihab « M Shodiq Mustika

Komentar ditutup.