Taaruf dan pacaran islami: Mana yang lebih efektif?

Dalam “studi kasus” terhadap seseorang, supaya lebih mengenal dia, manakah yang lebih efektif: [1] perhatikan isi rumahnya, amati lingkungan pergaulannya, kenali latar belakang pendidikannya, telusuri bacaannya, cari keterangan dari saudara dan temannya, dan berdiskusi saat silaturahmi; ataukah [2] menjalin hubungan cinta yang mendalam dengan dia, yang mengandung segala makna kasih sayang, keharmonisan, penghargaan, dan kerinduan, di samping mengandung persiapan-persiapan untuk menempuh masa depan bersama, serta menyelinginya dengan tanda-tanda cinta yang manis dan makruf, seperti tukar-pikiran dan tukar-bantuan?

Nah, pengumpulan data pada cara nomor 1 rupanya menggunakan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara saja. Sedangkan pada cara nomor 2, ketiga metode tersebut digunakan pula, tetapi yang diutamakan adalah metode “partisipasi aktif” (interaksi yang mendalam). Dalam studi kasus, manakah yang lebih efektif: cara nomor 1 ataukah cara nomor 2?

Apabila Anda sudah mendalami metodologi penelitian kualitatif, tentulah Anda sudah mengerti dan sangat yakin bahwa cara nomor 2-lah yang lebih efektif untuk lebih mengenal seseorang yang diteliti. (Lihat, misalnya, buku karya Prof. Dr. S. Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif (Bandung: Tarsito, 1992), terutama Bab IV, “Metode Pengumpulan Data”.)

Cara nomor 1 (“perhatikan isi rumahnya ….”) tadi itu terdapat dalam model taaruf-pranikah ala Abu al-Ghifari. (Siapa dia, identitasnya tidak jelas.) Ia menguraikannya di bukunya, Pacaran yang Islami Adakah (Bandung: Mujahid Press, 2004), sub-bab III C. Model-model taaruf-pranikah lainnya, yang dikemukakan oleh sejumlah aktivis dakwah yang sepaham dengannya, tampaknya juga hanya menggunakan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara saja. Sampai saat ini, saya belum pernah menjumpai model taaruf-pranikah yang menganjurkan penggunaan metode “partisipasi-aktif” (interaksi yang mendalam).

Adapun cara nomor 2 (“menjalin hubungan cinta yang mendalam ….”) dikemukakan oleh Abdul Halim Abu Syuqqah (seorang ulama Ikhwanul Muslimin) dalam bukunya, Kebebasan Wanita, Jilid 5 (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 75-77. Metode “partisipasi-aktif” (interaksi yang mendalam) ini tampak jelas pula dalam model percintaan pranikah ala Ibnu Hazm al-Andalusi, seorang ulama besar di Abad Pertengahan. Cara ini tersirat pula dalam model percintaan pranikah ala Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, seorang ulama besar yang tentu tak asing lagi bagi kita. Inilah model-model pacaran islami.

Jadi, untuk lebih mengenal si dia, pacaran islami itu lebih efektif daripada taaruf-pranikah.

 

9 thoughts on “Taaruf dan pacaran islami: Mana yang lebih efektif?

  1. Mungkin kita cuma melihat pacaran itu sebagai fenomena yang menjijikkan padahal kalau dikelola dengan baik itu bisa menghasilkan ikatan pernikahan yang baik bagi yang sampai ke titik tersebut, ataupun sekedar ikatan pertemanan yang baik dengan lawan-jenis yang didekati.

  2. Silahkan bantah yang ini dulu pak.. maaf jika saya harus diskusi di tempat bapak ini, saya merasa kurang nyaman.. mendingan kita di sini aja saya rasa ini lebih interaktif: dan forumnya telah dibuat dan tanggapi pernyataan-pernyataan itu
    Hanya segitu dulu.. maklum waktu kami tidak banyak

    dan mohon bikin ID ya 🙂 Agar bapak bisa menaggapi pernyataan dari org lain 🙂

    http://insanislami.forumotion.com/pacaran-islami-f26/

    Tanggapan Admin:
    Terima kasih atas undangannya. Sayang sekali, kami bukan orang yang gemar berdebat. Maaf.

    NB: Para pembaca lainnya kami persilakan untuk mengunjungi forum tersebut sebagai pembanding terhadap tulisan-tulisan di sini.

  3. Ping-balik: Curhat: Pilih pacaran atau taaruf? « Pacaran Sehat

  4. Ping-balik: puji’s Blog » Blog Archive » Nabi Muhammad pun pernah pacaran (tetapi secara islami)

  5. kok, hari gini masih saja ada orang2 yang mati-matian membela pacaran dengan label “islami”.. hehhh!!! dan tentu saja blog2 macam gini akan banyak pengikutnya, bagi para rejama aktivis dakwah yang sedang dimabuk cinta, dapatlah labuhan hati untuk menjustifikasi perbuatannya.
    kasihan orang-orang yang dijebaknya dengan “kaidah ushul fiqh” dan “dalil-dalil” yang dbawakannya

  6. Ping-balik: vizentica.blogr.com - stories - 2009-07-26-Pacaran-Islami

Komentar ditutup.